Jumat, 15 Juli 2011
MANAJEMEN BERKESENIAN
Bagikan di Google+
Halaman: 13 Oleh F Rahardi
Dalam pertemuan sastrawan yang baru lalu di Sumatera Barat, ada sebuah sesi diskusi mengenai dewan kesenian. Dalam diskusi tersebut saya melontarkan gagasan tentang manajemen pengelolaan kesenian. Ketika gagasan tersebut saya lontarkan, peserta diskusiyang rata-rata pengurus dewan kesenian terkesan kaget. Tampaknya mereka belum pernah bersentuhan dengan perangkat manajemen, kecuali Ratna Riantiarno dari DKJ. Dia kelihatan mengenal dengan baik sistem tersebut, hingga tidak mengherankan kalau Teater Koma yang dikelolanya sangat berhasil dari segi manajemen.
Kenyataan bahwa pengurus dewan kesenian tidak pernah bersentuhan dengan perangkat manajemen adalah sesuatu yang sangat menyedihkan. Dan itu merupakan kenyataan yang terjadi di Indonesia selama ini.
Manajemen memang sesuatu yang sering dinilai negatif oleh para seniman. Sebab manajemen adalah sebuah sistem yang menuntut adanya target pasti. Target itu harus realistis dan bisa diukur secara kuantitatif. Ukuran-ukuran kualitatif pun, harus dapat dikuantitatifkan. Misalnya, ukuran baik tidaknya mutu tontonan kesenian (dan pengelolaannya), dapat dilihat dari jumlah penontonnya. Ini semua pada akhirnya akan mengacu pada sistem produksi dan pemasaran.
Untuk itu juga diperlukan pengelolaan akuntansi (data stok, dokumentasi, dan lain-lain) serta keuangan. Hal-hal seperti ini, sering dianggap oleh para seniman, bertentangan dengan prinsip-prinsip berkesenian. Sebab kesenian lebih mengandalkan improvisasi dan kreatifitas. Di sinilah sebenarnya letak kesalahpahaman itu.
Biasanya, kalangan kesenian melihat perangkat manajemen sebagai sesuatu yang melulu berurusan dengan pabrik atau toko. Sementara masyarakat luas memandang kesenian, khususnya senimannya, sebagai sesuatu yang “susah diatur”.
Manajemen memang merupakan sebuah sistem kerja yang lebih banyak mengandalkan rasionalitas. Namun, manakala seseorang sedang atau telah buntu rasionya, mereka harus segera menggunakan intuisi dan kreativitas untuk mengambil sebuah keputusan. Dan tak jarang, keputusan yang diambil berdasarkan intuisi dan kreativitas ini hasilnya justru lebih baik dibanding dengan keputusan yang diambil berdasarkan rasionalitas. Bukankah ini juga mirip atau malah sama dengan kerja berkesenian? Penyair misalnya, dalam berkarya memang lebih banyak mengandalkan intuisi dan kreativitas. Namun, penyair yang baik juga mutlak harus cerdas. Berarti, dalam menulis puisi dia juga harus menggunakan kecerdasannya, menggunakan rasionalitasnya. Dan hampir semua penyair yang berhasil, kecerdasannya di atas rata-rata.
Berarti rasionalitasnya juga tinggi. Ini merupakan satu indikasi bahwa perangkat manajemen sebenarnya tidak harus dipertentangkan dengan kerja berkesenian.
***
Kerja berkesenian, sebenarnya sama saja dengan kerja-kerja yang lain. Berkesenian adalah memproduksi karya seni. Bisa berupa puisi, novel, lukisan, musik, gerak tari atau pentas teater. Produktifitas adalah tuntutan semua profesi, termasuk profesi seniman.
Seniman juga dituntut untuk dapat piawai menjual produk keseniannya. Pasar kesenian se-benarnya sama saja dengan pasar produk-produk lain seperti beras, minyak goreng atau garmen. Bedanya, beras dan lain-lain itu merupakan kebutuhan primer. Kesenian mungkin merupakan kebutuhan tersier atau kuarter atau mungkin belum merupakan kebutuhan dari sebagian besar masyarakat kita.
Pasar, termasuk pasar produk kesenian, dapat dibedakan menjadi pasar umum dan khusus, pasar individual dan massal. Bila seorang penata tari membuat pentas tari dan menjual tiket untuk umum, maka yang dijangkaunya adalah pasar umum. Bila dia mengajukan proposal ke lembaga dana untuk membiayai pentas yang akan digratiskan, maka yang ditujunya adalah pasar khusus.
Kalau penari itu melenggak-lenggok di depan raja atau pengusaha di dalam sebuah kamar, ini pasar individual. Pasar para pelukis rata-rata juga individual. Tetapi kalau penari itu beraksi di alun-alun dan ditonton 1.000 orang, namanya pasar massal. Seperti telah saya sebut di atas, menentukan pasar ini sangat penting sebab akan menyangkut seberapa banyak dan seberapa bagus kualitas seni yang harus diproduksi oleh sang seniman.
Setelah produk itu jadi, karakteristik pasar tadi juga sangat penting untuk menentukan strategi promosi. Publikasi yang banyak dilakukan oleh para seniman, adalah salah satu bentuk promosi untuk melariskan produk kesenian yang dihasilkannya. Kebetulan, promosi berupa publikasi cocok untuk pasar umum, khusus, individual maupun massal. Tetapi, kalau pasar kita umum dan massal, publikasi saja tidak cukup. Diperlukan pula iklan di media massa maupun di media luar ruang berupa poster, spanduk dan baliho. Tanpa itu, biasanya penonton tidak akan banyak.
Ketika saya dan beberapa penyair lain datang membaca puisi di Graha Bhakti Budaya TIM, November 1997 dalam rangka ulang tahun PKJ, hanya ditonton oleh sekitar 25 orang dengan membayar tiket masuk Rp 10.000. Padahal kapasitas gedung itu 800 orang. Ini merupakan indikasi bahwa para pengelola PKJ, baik dewan maupun TIM, memang tidak tahu manajemen berkesenian. Ini yang membuat Tarji ngambek tidak mau ikut baca puisi, padahal sebelumnya sudah mau.
Kalau memang PKJ malas berpromosi, atau dana promosi tidak ada, mestinya acara baca puisi tadi digratiskan. Atau kalau tiketnya mau dijual, nontonnya cukup di ruang rapat dewan atau TIM saja. Kapasitas 25 orang saya kira pas. Menghemat listrik dan AC, sang penyair juga bisa bangga lantaran penonton jadi penuh dan berdesak-desakan.
***
Menjadi seniman adalah pilihan hidup. Jadi tidak pernah ada istilah “terpaksa” menjadi seniman. Yang ada adalah terpaksa menjadi buruh, terpaksa maling, terpaksa melacur. Karena jarang memang orang yang sengaja bercita-cita menjadi buruh kasar, maling atau lonte.
Karena menjadi seniman adalah pilihan hidup, mestinya harus ada target, harus ada sasaran. Target itu bisa banyak hanya satu. Misalnya, ingin menjadi pelukis supaya kaya, terkenal, dihormati mertua dan dikerubuti gadis-gadis cantik. Ini target yang cukup banyak. Bisa juga cuma satu. Menjadi penyair agar bisa dicalonkan dan dipilih sebagai anggota MPR. Target itu harus jelas dan bisa diukur.
Kalau targetnya menjadi kaya, pengertian kaya itu pasti ada ukurannya. Target itu juga harus realistis. Tapi target itu juga harus menantang. Kalau TIM mengundang saya, Putu Wijaya, Afrizal Malna, Sitok, Eka dan lain-lain dengan target penonton hanya 25 orang, itu sangat tidak realitis dan sekaligus tidak menantang.
Target adalah sesuatu yang harus diperjuangkan agar dapat dicapai. Perjuangan itu harus dilakukan secara terus-menerus bahkan setelah target itu tercapai. Sebab mestinya target itu sendiri juga berkembang. Misalnya, kalau semula targetnya menjadi penyair di buletin kampus, setelah hal itu dapat dicapai lalu berkembang. Sekarang sasarannya menjadi penyair di koran daerah. Lalu menjadi penyair nasional.
Rata-rata para seniman gagal Indonesia, hanya bertarget tunggal. Bahkan kebanyakan sama sekali tidak punya target. Ketika seorang seniman ditanya wartawan, sering jawabannya adalah: “Pokoknya saya sudah berkarya dan sudah saya lempar ke masyarakat, terserah bagaimana masyarakat akan memberikan penilaian.”
Tetapi ketika masyarakat memberi penilaian jelek, dia marah. Target tunggal yang saya maksudkan di sini adalah, kalau target utamanya sesuatu yang sangat idealis, segi ekonominya diabaikan.
Hingga untuk menerbitkan buku misalnya, harus pakai pengemis-ngemis ke pejabat. Tetapi kalau target utamanya ekonomi (uang), maka segi idealismenya menjadi luntur. Sesuatu yang ideal, mestinya dapat dengan mudah dijual dan menghasilkan duit. Gagasan yang baik, seharusnya justru dapat dijual mahal hingga membuat sang seniman kaya. Se-suatu yang bisa dipasarkan secara masal pun, mestinya tidak serta-merta mengakibatkan menurunnya mutu produk tersebut. Cerpen yang dipublikasikan di koran-koran secara massal, kenyataannya juga tetap bermutu baik. Malahan bisa lebih baik dari cerpen di majalah sastra sekalipun.
Di ruangan ini beberapa waktu yang lalu, ada tulisan rekan saya pelukis Hardi yang hobinya suka meledak-ledak. Dia banyak mengambil contoh seniman-seniman yang sukses dari segi produktifitas, kualitas maupun segi ekonomisnya dengan langsung menyebut nama. Itu bukan berarti banyak seniman yang sukses. Hardi pasti tahu bahwa lebih banyak lagi seniman yang gagal dan frustrasi lalu menyalahkan berbagai pihak. Tetapi memang tidak etis untuk menyebut-nyebut nama mereka yang gagal. Meskipun kadang-kadang kegagalan mereka itu bukan akibat rendahnya kemampuan teknis berkesenian.
Kebanyakan, kekusutan seniman Indonesia, justru karena rendahnya kemampuan manajerial mereka. Kalau diangkat ke skala makro, kekusutan iklim berkesenian di negeri ini, juga akibat tidak adanya manajemen berkesenian yang baik. Rendahnya kemampuan manajerial ini bukan hanya terjadi di kalangan seniman, tetapi juga di lingkungan pengelola sarana berkesenian dan para birokrat serta penguasanya.
***
*) F Rahardi, penyair.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar