Rabu, 27 Juli 2011
Selamat Pagi, Sang Malam!
Bagikan di Google+
Tetapi, suatu hari di perjalananku menempuh pendidikan, tepatnya di segmen menengah atas semuanya berubah. Ada hal yang sangat mendesak dan memaksaku untuk sendirian menghadapi malam, tentu ini bukan tentang kebelet pipis seperti yang aku ceritakan di paragraf pertama, ini lain cerita. Meskipun sudah kepepet yang kadarnya seperti laki-laki kebelet pipis dan sudah berada di ujung tanduknya, aku tetap tidak berani berhadapan langsung dengan malam. Beruntung aku hidup di zaman yang sudah modern, ada teknologi, maka aku gunakan untuk menghadapinya. Dengan dililit persasaan takut, akhirnya aku mengawali dengan menyapanya. Ah, mengejutkan! Aku sungguh tidak menduganya, ia menanggapiku dengan ramah, “Wah, tumben. Ada angin apa nih kamu mau menyapa saya..”
“Entahlah!” letupan dalam hatiku, “Aku sendiri bingung, kenapa harus sampai berurusan denganmu?”
Sejurus kemudian, aku sampaikan masalahku, secukupnya tanpa basa-basi. Aku masih merasa canggung berhadapan dengannya. Setelah ia jawab dengan beberapa gumpal kata, dengan tetap ramah ia meladeniku, kemudian langsung aku sudahi saja percakapan antara kami lalu angkat diri.
Kurang 180 langkah setelah aku mengangkat diri dari hadapannya, aku dengar suara tangisan. Samar-samar, aku tak yaqin kalau itu berasal darinya. Aku lanjutkan melangkah, aku coba tak peduli. Tetapi tiba-tiba muncul keinginan untuk melihatnya, dan entah ‘ada angin apa’ pula aku membalikkan diri. Ternyata tangisan itu memang berasal darinya. Sepertinya ia terjatuh, mendekatlah aku kembali padanya. “Kenapa?” Sial, terbuka juga mulutku! Otot dan saraf mulutku tiba-tiba kacau susunan dendrit-konektor-neuritnya, itu terjadi lebih seperti sebuah gerak refleks, bertindak otonom tanpa kontrol dariku. “Nggak tau nih, padahal saya udah hati-hati”, hembusan halus jawabannya. “Ooo, mungkin malaikat yang biasa menjagamu sedang meninggalkanmu sejenak”, kalimat bodoh seperti itulah yang muncrat dari mulutku. Aku tak paham dari mana asalnya kalimat itu, mungkin muncul dari keinginan untuk menghiburnya.
“Kenapa pula aku ingin menghiburnya?” Tetap, “Entahlah!”
"Hehehe! Terus kira-kira pergi ke mana ya dia?” bertanya ia dengan dibumbui tawa renyah. Itu daya kejut kedua yang ia kirimkan padaku. Aku benar-benar tidak menduga kalau sampai bisa merangsang mulutnya untuk menghasilkan tawa. “Sepertinya dia menghampiriku”, aku melontarkan jawaban sembarangan. Ia menanggapi dengan heran, “Loh, kok bisa?”
“Ya bisa saja. Makanya aku sekarang jadi punya keberanian untuk menghadapi sesuatu yang paling aku takutin selama ini”, penjelasanku seenaknya. Namun sepertinya penjelasanku tidak menurunkan tingkat ketidak-mengertiannya, justru “Maksudnya?” pertanyaannya mengejarku. Untuk kali ini aku tidak bisa menjelaskannya, kupikir tak perlu memberi tahunya bahwa selama ini aku takut kepada makhluk macam ia. Akhirnya kualihkan saja pembicaraan ke tema lain.
Dan tak terasa, tahu-tahu sudah banyak tema yang telah kami perbincangkan, semuanya mengalir begitu saja. Tentu saja percakapan kami itu bukan antar daging mulut, kata mulut yang kugunakan sebelumnya hanya untuk mempermudah aku menyampaikan cerita yang rumit ini. Kata perkata yang muncul bukan hasil koordinasi bibir, lidah, pita suara, dan instrumen bicara lainnya. Komunikasi kami menggunakan teknologi internal, dialog kami dialog ruhani, ilmu kami ilmu kebatinan, dalam dimensi spiritual. Aku masih takut kalau-kalau harus menatap wajah malam secara langsung. Namun, lewat bincang-bincang ringan tak langsung itu aku tetap bisa tahu banyak hal tentangnya. Dari A sampai S, mulai alif hingga lam, walaupun hanya mencapai da-ta-sa-wa-la tidak khatam ma-ga-ba-ta-nga aku merasa mulai mengenalnya.
Perlahan tahu, terus mengenali, keberlanjutan bercengkrama, semakin dekat, sampai pada puncaknya aku merasakan hal aneh. Semburat perasaan asing, benar-benar tak kukenali dan sulit untuk dikenali. Proses mengenali dirinya berbanding terbalik dengan pengenalanku terhadap perasaan ini, semakin mengenalnya maka aku semakin terseret ke dalam ruang gelap perasaanku sendiri. Apalagi setelah ia memperlihatkan padaku senyumnya melalui cahaya hangat pantulan rembulan, senyum simpul simple yang memabukkan, aku dibuatnya tak sadarkan diri beberapa saat. Setelah kembali terjaga, aku teringat orangtuaku, inikah yang mereka sebut sebagai ‘kejahatan’ malam? ‘Kejahatan’ yang begitu halus ‘merusak’ sel-sel hati, ‘menyiksa’ ruhani, ‘memperkosa’ akal sehat. Oleh karena itu, aku coba memperlebar jarak dengannya, melangkah perlahan dengan membawa perasaan tak menentu: sakit. Bukan! Perih. Ah, lain! Pedih. Tidak seperti itu juga! Entahlah, pokoknya ini terasa di bagian dada sebelah kiriku, melilit erat jantungku. Akalku selalu dipaksa tengkurap kalau mencoba menjelaskan perasaan ini. Kalaupun aku diberi kemampuan untuk menjelaskannya, orang lain belum tentu mampu memproyeksikannya kembali ke dalam perasaan mereka dengan hasil yang benar-benar sama.
Dengan memperlebar jarak dengannya aku harap perasaan aneh ini juga bisa memperlebar jaraknya denganku lalu hilang. Tapi apa yang kudapat? Perasaan ini menambah tenaganya untuk mencengkram jantungku, pedih luar biasa! “Hey, kamu kenapa?” sepertinya malam menyadari tingkah anehku di hadapannya. Tapi aku lari, menjauhinya, bingung. Untuk beberapa saat aku berdiam diri di sudut kamarku, sendiri, untuk kemudian dikagetkan oleh suara halus menelusup ke dalam telingaku. “Cobalah jelaskan padaku. Sesuatu yang berawal tidak jelas akan berakhir dengan ketidak-jelasan pula” ternyata malam menghampiriku. Aku masih tetap diam untuk beberapa saat, memikirkan apa yang diucapkannya. Hingga aku paham maksud ia mengatakannya. Tapi itu masih bertentangan dengan hasil pengamatanku selama ini tentang malam, aku disesaki kekhawatiran-kekhawatiran. Khawatir jika aku menjelaskannya justru akan menghancurkan persahabatan yang ‘aneh bin ajaib’ bagiku ini. Ya! Bersahabat dengan sesuatu yang paling aku takuti adalah ‘aneh bin ajaib’. Persahabatan seperti ini merupakan hal baru, seperti harta karun tak ternilai yang baru aku temukan sepanjang perjalanan hidupku. Jika ada yang mengatakan “Ah, berlebihan!” Tidak apa-apa. Terserah apa tafsir mereka, memang seperti itu yang aku rasakan, mereka tak akan paham.
Sia-sia. Hasil pengamatan dan pertimbanganku sia-sia, ditekan perasaan aneh seperti itu akhirnya aku runtuh. Kujelaskan semua, bahwa aku jadi memiliki perasaan aneh terhadapnya sejak kami terlalu hanyut dalam aliran dialog-dialog. Dan daya kejut yang ketiga ia setrumkan padaku! Ternyata ia juga merasakan hal yang sama! Kali ini daya kejutnya benar-benar membuat otakku tak berfungsi. Hanya beberapa saat aku merasa bahagia, hangat, tenang, dan begitu nyaman. Namun, tiba-tiba muncul pertanyaan. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Aku malah bingung menentukan arah hubungan ini. Hasilnya dialog-dialog kami jadi beku, tidak mengalir. Bahkan aku jadi sering mengatakan hal-hal bodoh kepadanya. Aku diselimuti rasa bersalah, selimut yang sangat tebal dan panjang-lebar.
Ujung dari kebekuan dialog kami adalah hal yang aku khawatirkan sebelumnya.Aku tidak tahu, malam jadi begitu dingin, suram, gelap mencekam, sangat tidak bersahabat. Aku tanyakan penyebabnya, ia sama-sekali tak menjawab. Malam yang sunyi, bahkan suara jangkrik di halaman pun lenyap, sangat menakutkan. Sepertinya ia pergi, meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Aku tersungkur di sudut kamar, tubuhku bergetar hebat, kepalaku pening, perasaanku terpecah belah. Ketakutan kembali menyergapku. Aku lari menuju tempat tidur, kubalut seluruh tubuhku dengan selimut kemudian kupilih untuk tidur, hal yang biasa aku lakukan untuk menghindari malam.
Ketika aku terbangun dan kulihat kalender, daya kejut keempat menamparku, lebih dari 1081 hari aku tertidur. Ternyata semua yang aku alami bersama Sang Malam tak lebih dari sekedar sebuah mimpi panjang. Kubuka jendela kamar, menghirup udara segar untuk menenangkan diri, lalu dengan hati yang begitu tentram kuucapkan “Selamat pagi, Sang Malam…”
Hari-hari berikutnya tidak ada yang berubah dari diriku, aku tetap takut jika malam kembali menghampiriku. Mungkin aku akan berubah nanti, jika benar-benar diperkenankan Tuhan untuk bisa bertemu kembali dengan malam seperti dalam mimpiku.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar