Rabu, 27 Juli 2011
Bijak Malam
Bagikan di Google+
Setelah hari itu, banyak malam yang telah kulalui. Semuanya biasa saja, selain di setiap malam-malam tersebut aku masih bisa melihat samar kelebat-kelebat hitam bayangan Sang Malam.Ia tertangkap mata, namun tak tersentuh rasa. Aku benar-benar tidak diberi daya untuk sekedar menyapanya, maka bercengkrama dengannya adalah seperti kekuatan pada tongkat Musa yang mampu membelah lautan. Ia jauh, entah menjauh atau dijauhkan. Aku benar-benar tidak diberi daya untuk sekedar mengetahuinya, maka mampu memahaminya adalah seperti kecerdasan yang membangun bahtera Nuh yang menyelamatkan banyak manusia dari banjir raksasa. Aku hanya diberi daya untuk memperhatikan gerak-geriknya, itupun dari jarak pandang mata tak normal dengan sarana yang kurang memadai –tanpa pancaran sinar petromak, apalagi lampu pijar.
Diinjak-injak oleh ketidak-berdayaan, beruntung alam berpihak padaku. Aku dibantu untuk mengetahui sedikit apa-apa yang telah-sedang-akan ia lalui lewat “krik-krik” jangkrik, sonar kelelawar, hembusan angin, temaram rembulan, kerlap-kerlip bintang, atau apapun yang mampu menghijrahkan informasi dari tempatnya ke tempatku. Memang informasi yang sampai tidak memiliki nilai kebenaran yang paripurna, tapi apa yang lebih berharga selain kabar tentang sesuatu yang telah lama hilang dan ia adalah yang sangat kau cintai?
***
Lama sekali aku memperhatikan ia dengan cara seperti ini. Memang menyakitkan saat begitu banyak hal yang ingin kusampaikan lewat kata-kata, namun semuanya menyangkut di tenggorokan –tanpa menyentuh pita suara– hingga hanya menjadi tumpukan sampah busuk di dada. Saat aku diam merenung sambil memejamkan mata, tiba-tiba aku disentak oleh semacam suara yang kasar dan parau, “Hey, bodoh!”
“Siapa kamu!?” kataku dengan mata tetap terpejam, entah kenapa aku kesulitan membuka mata. Dan ada yang lebih aneh, mataku terpejam tapi aku seperti melihat sesosok tubuh hitam-hitam dengan latar yang gelap. “Bodoh, aku adalah dirimu!” terdengar dari sosok itu. Ternyata suara yang menyentakku tadi berasal dari sosok itu. “Apa maksudmu? Bagaimana mungkin?” aku masih bingung.
“Dasar bodoh! Sudahlah simpan saja ketidak-tahuanmu itu dan dengarkan kata-kataku.” Aku diam dan ia melanjutkan dengan nada bicara yang selalu kasar dan penuh amarah, “Sadarlah, yang kau lakukan selama ini untuk Sang Malam-mu itu hanya membuatmu tertarik semakin dalam ke lubang kepedihan. Tidak ada gunanya! Lupakan segala masa lalumu yang berkaitan dengannya, dan mulailah langkah baru. Lagipula kau tak tahu apa-apa tentang dia, kau tak mengenalnya sama-sekali! Hahaha.. Dasar bodoh!”
“Sial, sebenarnya apa maksud dan tujuan sosok asing ini. Ia mucul tiba-tiba dengan sapaan kasar, kemudian bicara seenaknya,” gerutuku dalam hati. Kemudian kulanjutkan bicara dengannya, “Aku sangat mengenal Sang Malam! Ia sahabatku! Banyak cerita menyenangkan yang sudah kami bagi bersama! Kau lah yang tak tahu apa-apa tentang dia!”
“Apa kau bilang!? Sosok asing!?” ia mengagetkanku lagi, “Kau ini benar-benar bodoh! Dirimu sendiri kau bilang sosok asing dan mengaku sangat mengenal makhluk asing macam Sang Malam-mu itu.” Sepertinya sosok itu mengetahui gerutuku tadi, aneh sekali.
“Satu lagi kebodohanmu, kau tadi mengatakan juga kalau dia sahabatmu.” ia senyum sinis, “Aku yakin kalau kau menganggap dia lebih dari itu, kau merasakan sesuatu yang lebih dari itu kan? Ayo, mengakulah! Jangan munafik!” diam sejenak, “Kau menganggap dia sebagai kekasih, itulah poin fatal kebodohanmu. Kau menganggap dia sebagai kekasih hanya karena satu-dua kata manis dan merasa dekat dengannya. Ketahuilah, dia melakukan hal serupa pada teman-temannya yang lain! Dia memang dekat dengan setiap temannya. Ah, kau ini bodoh sekali! Kau tak tahu apa-apa!” sosok keparat itu menyerangku bertubi-tubi.
Tapi kemudian ada yang memotong serangan itu, “Sudah cukup, berhentilah memojokkannya..” Itu suara lain, bukan dari sosok keparat yang sedang berhadapan denganku ini. Suaranya begitu tenang. Ternyata ada sosok lain yang datang, ia sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Dengan sosok serba putih, seolah-olah ia mencoba memberiku penerangan, menyelamatkanku dari sosok lainnya yang begitu suram. Sambil tersenyum ia memperkenalkan diri, “Tenang, aku adalah dirimu juga.” Sepertinya aku terjebak dalam keadaan yang aneh dan sangat membingungkan.
“Ah, satu lagi Si Bodoh datang. Balik sana, kau tak perlu ikut campur tentang masalah ini!” Si Kasar bersosok gelap tak terima kata-katanya tadi dipotong. Tak peduli dengan hal itu, sosok putih itu melanjutkan pembicaraannya, “Jika memang kau menganggapnya sebagai kekasih, maka menurutku yang kau lakukan selama ini sudah benar.”
“Apa-apaan kau ini!? Jangan menceramahinya dengan hal-hal bodoh!” sosok gelap tak terima lagi, “Menganggap dia sebagai kekasih saja merupakan kebodohan yang keterlaluan, bagaimana mungkin yang dilakukannya itu kau anggap benar? Lelucon macam apa itu!”
Masih tak mempedulikan sosok gelap, “Jangan khawatir akan jarak yang memisahkan kau dan dia saat ini,” nada bicara sosok putih tetap tenang, “walaupun tak secara langsung, tetaplah memberikan perhatianmu padanya. Karena memang jarak yang ada antara dua orang kekasih itu penuh dengan kepercayaan dan kesetiaan..”
“Hey, bodoh! Jangan dengarkan ocehan kosongnya!” sosok gelap meneriaki telingaku.
“Hehehe.. Kalian masih saja seperti itu. Terus bertengkar, tak ada matinya.” tawa renyah yang berbeda, bukan berasal dari kedua sosok gelap dan putih yang sedang bertengkar. Muncul sosok dengan tampilan hijau-hijau penuh keceriaan, raut mukanya sangat gembira. “Apa kau juga diriku?” tanyaku. “Tentu saja. Hahaha...” jawab sosok baru tersebut.
"Tak perlu kau dengarkan mereka berdua. Mereka hanya membuatmu bingung. Yang perlu kau lakukan adalah bersikap biasa, jangan dibuat susah. Kalau ingin menyapanya ya sapalah ia, jangan hiraukan respon apa yang ia bakal kembalikan. Menyapa balik ya syukur, tidak juga tak masalah. Kalau beruntung, kau bisa berbincang lagi dengannya. Tapi ingat, tetaplah bersikap biasa. Wajar-wajar, tak perlu ada ini-itu. Cerialah! Tak perlu pusing dan sedih, itu hanya menghambatmu untuk tertawa. Hahahaha...~~!" sosok hijau itu menasehatiku, disertai tawa yang puas sekali.
Terdengar suara halus penuh kekhawatiran, “Tapi bagaimana kalau dengan bersikap seperti itu justru merenggangkan hubungan kalian? Bagaimana masa depan kalian? Bagaimana kelanjutan hubungan yang sudah kau bina dan perjuangkan dengan penuh kepedihan itu?” Sosok lainnya lagi. Ia kuning muram, tampangnya begitu psimis dan diselimuti kesedihan.
Setelah kemunculan sosok muram itu, bermunculan sosok-sosok lain. Mereka mengelilingiku. Semuanya berbicara panjang-lebar, riuh-rendah berpendapat, “cas cis cus” pertengkaran mempertahankan argumen, ramai sekali. Belum lagi warna-warni yang timbul dari masing-masing mereka, sangat menyilaukan mata. Kondisi ini membuatku pening, aku tersungkur jatuh. Mereka tak peduli dan tidak berhenti. Ingin sekali bangun dan mengusir mereka, tapi tubuhku lemas. Ingin sekali teriak membubarkan mereka, tapi lidahku serasa beku.
“Bisakah kalian tenang?” terdengar suara menggema dari balik warna-warni itu. Entah siapa itu, aku tak bisa melihatnya, mataku masih buram. Tapi seketika itu juga sosok-sosok yang mengelilingiku diam. Begitu menurut mereka pada suara itu, suara siapakah?
Hening sekian detik, kemudian suara itu muncul lagi dengan nada yang terdengar seperti membacakan sebuah sajak.
“Malam adalah wanita,
yang memiliki sisi gelap
untuk menyembunyikan
segala rasa di dada..
Malam adalah perawan,
gelap mensucikannya
dari lampu-lampu pijar
yang memancarkan sinar semu..
Malam adalah istri,
ia berada di sisi
saat lelah hinggap
dan kau butuh istirahat..
Malam adalah ibu,
ia mendekap menyuapi
dengan hangat dan terang
melalui cahaya bulan..
Malam adalah ibu,
ia nyaman menenangkan
dengan diam dan sunyi
melalui hembus angin halus..
Malam adalah ibu,
ia begitu bijak menunjukkan
ribuan bintang kerlap-kerlip
yang Siang tak mampu tunjukkan..”
Ia meninggikan nada di bait selanjutnya.
“Malam adalah betina,
saat ia kehilangan bijaknya
liar tanpa kendali nurani,
menerkam mencabikmu urai
dengan cakar dingin runcing
mematikan indera rasa,
kasar-halus
gelombang-rata
pahit-manis
apa-apa yang kau cintai
lenyap dari setiap gesek sentuh..
Bekulah Bumi!
Malam adalah betina,
saat ia kehilangan bijaknya
liar tanpa kendali nurani,
menerkam menelanmu bulat
ke dalam gelap murni
membutakan mata jiwa,
selatan-utara
buruk-indah
warna-warni
apa-apa yang kau cintai
hilang dari segala sudut pandang..
Hitamlah Bumi!”
Meskipun masih tersungkur pening, aku mendengarkannya dengan baik. Tapi aku tak paham apa makna sajak yang dibacakannya tersebut. Dengan terbata, “Bisakah kau jelaskan padaku maksud sajakmu itu?” aku bertanya.
“Seberapa bijak Sang Malam akan menentukan langkahmu berikutnya...” hanya itu yang terdengar, selanjutnya sunyi. Kucoba membuka mata, hari sudah pagi.
Cirebon, 26 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar