Kamis, 10 Mei 2012
Ruang Biru
Bagikan di Google+
Seleret cahaya menembus ruangan biru itu melalui sebuah jendela tua, permukaan kacanya yang kotor terlihat dalam bayangan bingkainya di lantai. Absennya niat sang pemilik untuk membersihkan jendela telah membuat jendela itu menjadi tempat favorit bagi debu, bahkan beberapa laba-laba telah memutuskan untuk membuat jaring di sana. Lantai ruang itu pun sama saja kotornya. Beberapa lapis debu telah berkarat menempel di sana. Hanya ada segaris permukaan lantai yang tidak terlalu kotor. Garis itu membentang dari ruangan tersebut ke sebuah pintu, dan dibalik pintu itu ada sebuah lorong yang terdapat 3 buah pintu di masing-masing dindingnya. Pintu di sebelah kiri adalah pintu menuju toilet, sebelah kanan adalah dapur, dan pintu di bagian depan adalah pintu keluar. Namun, pegangan pintu ini begitu kotor dan berdebu seolah belum pernah disentuh selama beberapa waktu.
Aku kembali ke ruangan itu, dan kembali menatap orang itu. Dari kondisi tempat ini, aku tahu bahwa kegiatan dia sehari-hari hanyalah pergi ke toilet atau dapur untuk sekedar memenuhi fitrahnya sebagai manusia. Selain 2 hal tersebut, aku yakin dia hanya duduk di kursi goyang itu sepanjang hari sambil membaca sebuah buku yang kelihatannya sudah dia baca ratusan kali. Aku tidak berani mengganggu orang itu, dia kelihatan sedang pulas tertidur dengan ekspresi wajahnya yang damai.
Sepertinya orang itu tidak menyadari keberadaanku, dia terlalu pulas tidur. Mungkin dia sedang bermimpi indah mengenai suatu hal. Menyadari hal itu, maka aku memberanikan diri mengintip dari pundaknya dan berusaha membaca buku itu. Rupanya itu adalah sebuah buku yang isinya ditulis manual oleh tangan. Dari sekilas saja aku melihat, aku tahu bahwa itu adalah tulisan seorang wanita dan entah kenapa tulisan itu rasanya sangat familiar. Walaupun kondisi buku itu sudah agak kusam, namun tulisan itu masih jelas terlihat dan tulisan itu cukup bagus untuk bisa dibaca.
Ternyata buku tersebut adalah sebuah diary. Aku tidak tahu apa hubungan sang pemilik diary dengan orang yang sedang membacanya itu. Aku pun tidak tahu kenapa sang pemilik merelakan diarynya kepada orang itu. Bukankah seharusnya diary menjadi sebuah milik pribadi dimana sang pemilik bisa menulis apapun tanpa khawatir tulisannya dibaca oleh orang lain? Ah, aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Rasa penasaranku untuk membaca buku itu telah mencapai puncaknya dan aku pun mulai membaca.
Dear, diary
Meskipun mereka berusaha memasang senyum, aku tahu bahwa kondisiku semakin memburuk. Aku tahu ibuku tidak pandai berakting. Maka hari ini hanya ayah yang masuk ke ruang perawatanku sementara ibu menunggu diluar. Aku tahu ibu sedang menangis di balik pintu itu. Suara tangisnya sangat pelan dan menyakitkan. Menyadari hal itu, ayah terburu-buru membuat batuk palsu dan memulai pembicaraan mengenai penulis favoritku yang akan segera menerbitkan sebuah buku baru. Selain hal itu tak ada hal lain yang istimewa hari ini. Semoga aku masih bisa menulis esok hari.
Sepertinya orang yang menulis diary ini sedang sakit parah. Bahkan mungkin penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Aku ingin sekali melanjutkan membaca diary itu tapi aku tidak mau membangunkan orang di atas kursi goyang itu. Maka aku menunggu dia bangun.
*****
Semburat merah telah memasuki ruangan dan aku masih terduduk di sudut mengawasi orang di atas kursi goyang itu. Sedari tadi dia hanya diam di sana dan menutup mata seolah sedang mati. Aku mulai berpikir bahwa orang itu tidak memiliki niat untuk bangun hari ini sementara aku semakin penasaran untuk membaca halaman berikutnya. Sebentar lagi malam akan datang dan kesabaranku sudah habis. Aku berdiri dan melangkah ke belakang orang itu. Aku baru sadar bahwa ternyata langkahku tidak menimbulkan suara sama sekali, normalnya sebuah langkah akan menimbulkan suara, sekecil apapun suara itu. Apalagi di ruangan kosong dan lumayan luas ini seharusnya suara langkahku akan bergema lumayan keras. Tapi aku tidak peduli dengan detil-detil semacam itu, yang ada di pikiranku hanyalah rasa penasaran untuk membaca halaman selanjutnya.
Perlahan aku mengulurkan tangan untuk menggapai buku itu. Kupanjangkan tanganku sejauh mungkin untuk membalik halaman itu tanpa membuat jarak terlalu dekat dengan orang itu. Dengan bunyi pelan yang bergema, akhirnya aku berhasil membalik halaman itu. Aku segera mundur untuk mengantisipasi reaksi orang di atas kursi goyang itu karena telah menggangu tidurnya. Setelah beberapa saat tanpa reaksi, aku kembali ke belakang kursi itu dan membaca halaman selanjutnya.
Dear diary,
Hari ini dia datang lagi. Dia yang setia mengobati hatiku bahkan sebelum badanku memerlukan pengobatan. Dia yang telah rela berbagi lembar-lembar kehidupannya untuk kami tulis bersama. Dia selalu membawa sesuatu ketika datang meskipun aku pernah berkata bahwa aku hanya berharap dia membawa hati yang sama ketika badanku masih seperti dulu. Kali ini dia membawa sebuah buku yang dibicarakan oleh ayahku beberapa hari yang lalu. Aku tidak bisa menahan rona merah di pipiku ketika dia datang. Hari ini dia berbicara mengenai rencananya untuk menikahiku jika kondisiku sudah agak baikan. Aku terkejut bukan main ketika mendengar hal itu, namun rasa bahagiaku jauh lebih besar dari keterkejutan itu. Yang lebih mengejutkan adalah bahwa dia telah membicarakan hal ini dengan kedua orangtuaku dan mereka menyetujuinya. Sekarang keputusan hanya ada di tanganku. Aku tahu kemungkinan kondisiku akan membaik sangat kecil, namun aku tidak bisa menutup kemungkinan bahwa kondisiku akan membaik.
Cahaya lampu jalan redup yang menembus kaca jendela membuat gurat wajahnya terlihat dengan jelas ketika dia menyodorkan sebuah cincin kepadaku. Aku menangis bahagia menghadapi momen itu. Momen yang telah aku tunggu cukup lama. Aku tak menyangka momen ini akan datang ketika kondisiku seperti ini. Aku bertanya mengenai keyakinannya untuk melamarku sementara aku dalam kondisi yang seperti ini. Dia hanya tersenyum dan memasangkan cincin itu di jariku.
Masih banyak yang ingin aku tulis. Tentang bagaimana dia berkata dengan optimis mengenai semua rencana pernikahan kami. Tentang dia yang telah memberanikan diri membicarakan rencananya dengan orangtuaku. Tentang dia yang tersenyum sebelum keluar pintu dan berkata "Aku akan menunggumu sampai kapanpun". Tapi obat ini sudah mulai menimbulkan efeknya. Aku tidak bisa lagi mempertahankan mataku untuk tetap terbuka.
"Oh, betapa indahnya" adalah hal pertama yang aku pikirkan. Seorang wanita yang sedang sakit dan seorang pria yang menunggu kesembuhan sang wanita agar bisa menikah. Dan yang lebih indah adalah fakta bahwa hal tersebut merupakan kenyataan. Aku kembali membalik halaman buku itu dan kembali tidak mendapat reaksi apa pun. Aku tidak peduli lagi, mungkin dia sedang sangat kelelahan dan membutuhkan tidur panjang. Aku pun membaca halaman selanjutnya
Dear diary,
Dokter dari luar negri yang akan mengobatiku baru saja datang tadi pagi. Kondisiku sudah terlalu parah, dokter-dokter di sini tidak ada yang sanggup menanganiku lagi. Dokter itu sengaja dipanggil jauh-jauh untuk mengatasi keadaanku yang semakin memburuk. Setelah melakukan beberapa tes dan mengambil sampel darah untuk dia analisis. Dokter itu memutuskan bahwa aku harus segera dioperasi. Operasi itu akan dilaksanakan 2 hari lagi. Dia mengatakan bahwa kemungkinan operasi ini akan berhasil adalah 30 persen. Aku suka dokter yang satu ini, dia tidak berusaha menutup-nutupi kenyataan agar membuatku tenang. Mungkin pendidikannya yang berbeda telah mengajarkan bahwa mengatakan hal yang sebenarnya kepada pasien adalah hal yang terbaik.
Malam ini pria itu datang lagi. Pria yang telah memasang cincin ini di jariku. Pria yang aku harap dapat menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Dia datang untuk memberiku semangat mewakili kedua orangtuaku karena mereka tidak sanggup untuk tidak menangis di depanku. Aku kagum dengan calon suamiku ini, dia tetap dapat tersenyum walaupun menghadapi kenyataan bahwa persentase keberhasilan operasiku hanya 30 persen. Namun senyum kali ini terlihat berbeda, ada raut pasrah dalam senyuman itu. Kali itu dia tidak berkata banyak. Dia hanya duduk dan menggengam tanganku hingga jam besuk berakhir.
Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tidak bisa mengeluarkan sedikit air mata pun. Bahkan perasaan hangat di bola mata pun tidak dapat kurasakan. Aku tidak tahu siapa penulis diary itu, aku pun tidak tahu siapa pria yang melamar wanita itu, aku bahkan tidak tahu siapa orang di depanku yang sedang memegang buku itu. Tapi aku merasa ada setitik kenyataan yang begitu dengan dengaku ketika aku membaca buku itu. Ada desir rindu yang menguat setiap aku membaca kalimat-kalimat dalam buku itu. Aku tidak peduli lagi jika aku akan membangunkan orang di depanku dengan membalik halaman itu. Aku hanya ingin segera membaca halaman selanjutnya
Dear diary,Aku terhenyak ketika membaca halaman itu. Aku mundur ke permukaan tembok dan menyadari suatu hal. Tiba-tiba semua kenanganku meloncat-loncat di depan mata. Pemakaman itu, tangisan itu, rasa putus asa itu, buku itu. Semuanya muncul ke permukaan satu-persatu melengkapi bingkai puzzle kenanganku. Semuanya kini masuk akal. Kenapa langkahku tidak bersuara. Kenapa orang itu terus-menerus tidur. Kenapa tulisan itu begitu familiar. Kenapa kisah itu begitu nyata.
Aku tidak suka ruangan ini. Temboknya yang putih bersih, udaranya yang penuh bau obat, dan dokter-dokter itu yang memakai masker dan alat penerangan di kepala mereka. Aku tidak suka berada di sini, tapi aku harus menghadapi semua ini. Aku harus menghadapi kemungkinan antara hidup dan mati ini.
Kalau habis waktuku Jangan kau rubah sudut bibirmu itu Tersenyumlah, Tersenyumlah untukku
Kalau habis waktuku Jangan kau belenggu sayap cintamu Terbanglah, Terbanglah untuk kita berdua
Kalau habis waktuku Jangan sesali pergiku Relakanlah, Relakanlah kepergianku dan lambaikan tanganmu
Aku sudah mati
Dan di sanalah jasadku. Terduduk memegang buku milik Linda, perempuan yang akan aku nikahi terlepas dari kondisinya dan ketidaksetujuan keluargaku. Aku masih ingat tangisan keluarga dan teman-teman Linda ketika dokter dengan mata sembab mengabarkan kematian Linda. Bahkan aku masih bisa mengingat tangisanku sendiri. Aku mendobrak ruangan itu dan memeluk Linda sekuat tenaga. Aku mengguncangnya perlahan, namun dia tetap tidak bernafas. Tidak ada yang berusaha menghentikanku di ruangan itu. Mereka semua hanya terdiam dan sesenggukan. Hanya suara statis dari mesin pendeteksi mesin jantung yang meyakinkanku bahwa Linda telah tiada.
Pemakaman diadakan keesokan harinya. Di pemakaman itulah aku diberi buku itu oleh ayah Linda. Buku yang merekam semua kenangan kami, mulai dari hari dimana aku menyatakan bahwa aku mencintainya. Hari-hari dimana kami bercanda tawa. Kenangan-kenangan kecil ketika kami saling menggengam tangan ketika kami berjalan. Hingga sebuah hari dimana dia pingsan ketika kami sedang membeli makanan sepulang dari bioskop. Aku segera menghentikan taksi dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Ketika aku menunggu di luar ruangan, kedua orangtua Linda datang. Ibunya langsung masuk sementara ayahnya duduk di sampingku dan merangkul pundakku dengan erat sambil berkaca-kaca.
Dari penjelasan ayahnya aku baru tahu bahwa Linda memiliki penyakit kanker otak sejak 3 tahun yang lalu. Aku sering mendapati dia memegangi kepala dengan ekspresi kesakitan, tapi dia berkilah bahwa itu hanyalah sebuah migrain. Ketika aku menanyainya mengenai hal tersebut, dia selalu terlihat marah dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Ayah Linda bercerita bahwa Linda bersikeras ingin menyembunyikan hal ini dari aku karena dia tidak mau merubah rasa cintaku padanya menjadi rasa iba. Dia ingin dicintai tanpa dikasihani karena penyakitnya. Aku menangis ketika mengetahui hal itu. Rangkulan ayah Linda di pundakku semakin erat dan aku dapat merasakan getaran pundaknya yang menandakan bahwa dia juga menangis.
Setelah pemakaman itu aku pergi ke rumah warisan kakekku di sebuah desa terpencil. Aku datang ke sana dengan membawa persediaan makanan yang cukup banyak karena aku tidak berencana untuk keluar dari rumah itu untuk beberapa lama. Aku ingin mengurung diri bersama kenangan Linda yang telah dia tulis di buku itu. Aku menghabiskan waktu dengan duduk di ruangan biru ini sambil membaca buku itu. Mencoba membangkitkan kembali manis pahit kenangan yang pernah kami lalui bersama.
Hal terakhir yang aku ingat adalah ketika persediaan makanan habis dan aku masih belum mau keluar dari rumah. Aku masih ingin memeluk kenangan-kenangan itu. Beberapa hari aku tidak makan, hingga suatu saat badanku sangat lemas dan aku memutuskan untuk tidur di atas kursi goyang dimana aku biasa menghabiskan waktu. Rupanya itu adalah tidurku yang terakhir.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar