Rabu, 30 November 2011
Arsitektur Kota dan Hati Nurani
Bagikan di Google+
Jumlah perencana kota meningkat pesat akhir-akhir ini. Dengan modal ijazah sarjana, bahkan master yang mereka miliki, dengan bebas mereka dapat mengkliam diri sebagai perencana kota. Namun, sudahkah mereka mendalami isu-isu penataan kota secara mendalam? Sudahkah mereka melihatnya menggunakan kacamata nurani?
Aku, yang sebentar lagi menyelesaikan studi S1 di bidang Arsitektur, mungkin akan menjadi bagian dari mereka. Terlibat langsung, atau sekedar menyumbang ide kepada kota.. Berhenti sejenak, ku melihat keadaan perencanaan tata kota saat ini. TAK BERNURANI. Ya, itulah kata yang tepat, menggambarkan perasaanku saat ini melihat sebagian penataan kota-kota di Indonesia.
Masalah yang kompleks memang. Mengapa semua ini tidak didasarkan kepada pertimbangan prestasi dan referensi pekerjaan yang telah dilakukan si calon perencana, malah berdasar kepada pertimbangan koneksi dan komisi. Hasilnya, terlihatlah pembangunan yang tidak berdasar kepada nurani dan kode etik profesional. Ya, diiringi dengan perasaan penuh haru serta sedikit penyesalan, kukatakan bahwa karya tata ruang yang ada saat ini adalah karya yang berkualitas rendah..
Bukankah ketika kita (para planner) merencanakan karya yang bernilai arsitektur, harus mempertimbangkan akan guna dan citra?
Guna, tidak sekedar manfaat, namun bagaimana karya itu hadir, dengan daya yang mampu menggugah, mengarahkan kita kepada kualitas hidup yang lebih nyaman dan lebih baik.
Citra, simbol yang bercerita, ia menggambarkan keadaan yang terjadi saat itu, di ruang milik kita bersama ini. Ya, kota kita.
Jika citra yang kudapat dari karya berupa kota-kota di Indonesia, yang kebanyakan semrawut, salahkah jika kukatakan bahwa ini adalah citra dari masyarakat kita yang sedang bingung?
Banjir... Kemacetan... Pemukiman kumuh... Pasar tradisional... Pedagang kaki lima... Pengemis... Masihkah mereka mendapat tempat di tengah maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan? Masihkah kita ingin terjebak dengan stigma yang mengatakan bahwa kota yang sukses itu terlihat dari pembangunan gedung-gedung baru yang serba mewah, yang mungkin bukan menjadi kebutuhan mendesak kota kita? Masihkah kita terpenjara dalam memahami kemajuan kota dari satu sudut pandang saja (selama ini dilihat dari pertumbuhan ekonomi) ?
Fenomena keruangan yang kompleks memang. Dan diri ini menganggap kita perlu menggunakan pendekatan baru yang lebih bagus. Lebih manusiawi... Lebih terstruktur... Lebih menyeluruh. Menguntungkan secara ekonomi, dapat diterima secara sosial dan politik oleh masyarakat, serta tak lupa ramah terhadap lingkungan dimana kita berpijak dan mengukir cerita bersama sahabat dan keluarga kita.
Saat ini, aku memang masih berstatus mahasiswa. Tak punya kekuasaan.. Tak punya komisi.. Kemewahan yang kumiliki hanyalah idealisme ini. Idealisme yang menggugah hati ini, ketika melihat perencanaan kota yang semakin semrawut. Idealisme yang mengundang haru, ketika alam dikorbankan demi pembangunan tanpa nurani itu..
Ke depan, semoga lebih baik lagi.
Semoga kalian para pemimpin, bisa berhenti sejenak, menemani, berjalan beriringan, tuk mendengar aspirasi kami..
Semoga kita, para perencana bisa melihat dengan teliti serta mendalami isu-isu terkait kebutuhan masyarakat dalam proses hidup terkait perencanaan tata kota yang humanis...
@p
Sedikit suara hati dalam keasyikan memahami ruang dari sudut kamarku.
No similar templates
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar